II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ultisol dan Permasalahannya
Menurut
Radjagukguk (1983) tanah-tanah bermasalah di Indonesia antara lain ordo Oxisol,
ordo Ultisol, dan Ordo Histosol. Dari 50 juta Ha lahan bermasalah tersebut 38,4
juta ha ditempati oleh Ultisol. Diantaranya 1,023 juta ha lahan tersebut
terdapat di Sumatera Barat, atau sekitar 6,1 % dari seluruh tanah Ultisol di
Indonesia (LPT, 1979).
Sifat
kimia tanah Ultisol yang mengganggu pertumbuhan tanaman adalah pH yang rendah
(masam) yaitu sekitar 4,9, kejenuhan Al yang tinggi yaitu sebesar 42 %, bahan
organik yang rendah yaitu sebesar 1,15 %, kandungan hara yang rendah yaitu N
sebesar 0,14 % dan P sebesar 5,80 ppm, kejenuhan basa yang rendah sebesar 29 %
dan KTK yang juga rendah yaitu sebesar 12,6 me/100 g. Sedangkan sifat fisikanya
yang mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman adalah laju infiltrasi,
kemantapan agregat, permeabilitas dan kemampuan tanah dalam menahan air yang
rendah (Sinukaban, 1982).
Tanah ultisol pada dasarnya mempunyai struktur yang baik,
tapi tidak optimal dalam kemampuan memegang air, sehingga cepat kehilangan air
sehingga tanah mengalami dehidrasi.
Namun jika tanah ini dikelola dan diperlakukan secara tepat, maka tanah
ini bisa produktif (Soepardi, 1983).
Perlakuan yang bisa kita usahakan terhadap tanah ultisol adalah cara
penetralan kadar asam sekaligus meningkatkan kadar haranya. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar hara
tanah ini adalah dengan memberi kapur dan pupuk buatan yang cukup. Kadar asam
ultisol dinetralkan dengan pemberian kapur. Hal ini dilakukan untuk
mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah. Selanjutnya juga diharapkan
meningkatkan kegiatan jasad renik dalam tanah (Hakim et al,1986).
2.2 Titonia (Tithonia
diversivolia) Sebagai Sumber Bahan Organik
Penelitian tentang pemanfaatan titonia
telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa Fakultas Pertanian, seperti Hayati
(2003) untuk tanaman melon, Novalina (2003) untuk tanaman cabai, Zulfa (2004)
untuk tanaman tomat, dan Fidorova (2003) untuk tanaman jagung. Berdasarkan hasil penelitian mereka diketahui
bahwa tanaman melon, jagung, cabai dan
tomat yang diberi 50% N dari titonia dan 50% N dari urea tumbuh lebih
baik daripada yang diberikan 100% N dari urea.
Hasil penelitian Hakim dan Agustian (2004 dan 2005) pada Ultisol di
lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan titonia dapat mengurangi penggunaan NK
pupuk buatan hingga 50 % untuk tanaman jahe, cabai, dan jagung.
Legizasvera (2005) dan Yumna (2006)
juga menemukan hasil cabe tertinggi pada penggantian NK pupuk buatan dengan NK
titonia sebanyak 25 – 50 %. Bibowo
(2005) melaporkan bahwa penggantian NK pupuk buatan dengan NK titonia terbaik
untuk memperoleh hasil jagung tertinggi adalah 50 %. Hakim dan Agustian (2004 dan 2005)
menyimpulkan bahwa kebutuhan NK tanaman cabe, jahe, dan jagung dapat
disubstitusi dengan NK pupuk buatan 25 – 50 % karena hasilnya tidak berbeda
nyata dengan 100 % NK pupuk buatan, bahkan kadang-kadang lebih tinggi pada
tanaman yang mendapat kombinasi NK titonia dan NK pupuk buatan. Penggunaan titonia ini baru sebatas beberapa
tanaman saja. Untuk mengurangi
pengeluaran petani dalam pengadaan pupuk dan peningkatan hasil, penggunaan
titonia sebagai bahan organik perlu dikembangkan.
2.3. Padi Gogo dan Syarat Tumbuhnya
Padi
gogo tumbuh sampai ketinggian 1300 m dpl dengan curah hujan rata-rata 600-1200
mm selama fase pertumbuhannya. Suhu yang
dibutuhkan padi gogo untuk tumbuh baik adalah antara 15-300 C.
Tanah yang gembur dan cukup subur, mempunyai drainase baik dibutuhkan
oleh padi gogo untuk tumbuh baik (Badan Pengendalian Bimas, 1977).
Pertumbuhan padi gogo secara langsung akan
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.
Berbeda dengan padi sawah, lingkungan tumbuh dan kondisi tanah tidak
berubah karena tiadanya genangan air.
Akibatnya terdapat berbagai tekanan atau deraan (strees) karena
kekeringan, keracunan, dan kekahatan berbagai unsur hara, selain gangguan dari
berbagai hama penyakit dan gulma (Ismunadji et
al, 1988).
Kendala
utama dalam budidaya padi gogo antara lain rendahnya produktifitas tanah,
gangguan hama penyakit, kekeringan dan kurangnya varietas unggul yang
berpotensi hasil dan stabil pada lahan marginal. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan
perbaikan teknologi kultur teknis serta penemuan varietas unggul (Balittan
Sukarami, 1989). Ismunadji et al (1988) menambahkan bahwa
kebanyakan lahan kering memiliki pembatas karena kesuburan rendah, kekahatan
berbagai unsur hara, dan juga keracunan yang berkaitan dengan reaksi
tanah. Karena masalah-masalah ini lahan
untuk penanaman padi gogo dan juga untuk tanaman pangan lainnya digolongkan
marginal.
Pusat
Penelitian Tanah telah membuat klas kesesuaian lahan untuk tanaman pangan lahan
kering yang dapat digunakan untuk tanaman padi gogo. Kriteria suatu lahan potensi untuk tanaman
padi gogo adalah: (1) kedalaman efektif lebih dari 25 cm, (2) tekstur liat
berdebu halus, berlempung halus sampai kasar, (3) pori air tersedia sedang
sampai tinggi, (4) tanah tidak berbatu (batu kurang dari 5 %), (5) reaksi tanah
pH 4,2 sampai 8,0, (6) kejenuhan Al kurang dari 80 %, (7) kedalaman padas dasar
dari 50 cm, lereng kurang dari 8 %, (9) kelas drainase agak terlambat sampai
agak cepat, (10) salinitas kurang dari 4000 mmhos/cm3, (11)
ketebalan gambut kurang dari 100 cm.
Padi
menghendaki lingkungan yang terbuka dan banyak mendapat sinar matahari. Oleh karena itu tidak baik di tanam sebagai
tanaman sela. Temperatur juga merupakan
faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan padi. Temperatur yang tinggi pada fase pertumbuhan
vegetatif akan menaikkan jumlah anakan.
Sebaliknya temperatur rendah pada masa berbunga berpengaruh baik pada
pertumbuhan bunga dan hasilnya akan lebih tinggi atau lebih baik. Tetapi pada masa ini temperatur tinggi dapat
menyebabkan gabah hampa, karena tidak adanya keseimbangan antara pernafasan dan
fotosintesa (BPLPP dan JICA, 1983).
Beberapa
sifat tanaman padi gogo adalah: (1) peka terhadap kekeringan, (2) jumlah anakan
maksimum sedikit dan luas permukaan daun sempit, (3) jumlah anakan produktif
sedikit dan persen kehampaan tinggi, (4) fase bunganya lambat dan jumlah bahan
keringnya lebih sedikit, dan (5) nilai nisbah bahan kering lebih kecil
(Sorowinoto, 1983 cit. Zain, 1995).
2.4. Kompos dan Peranannya
Kompos adalah
bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan
karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja
didalamnya. Bahan-bahan organik
tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran
hewan, rerontokan kembang, air kencing dan kotoran hewan, dan lain-lain. Adapun kelangsungan hidup mikroorganisme
tersebut di dukung oleh keadaan lingkungan yang basah dan lembab (Murband,
2003).
Kompos yang merupakan
sumber bahan organik penting disamping
pupuk kandang dan pupuk hijau, adalah hasil dekomposisi bahan organik segar
menjadi bahan yang menyerupai humus (Indranada, 1986). Pemberian kompos sebagai bahan organik dapat
mengurangi fiksasi P dimana zat-zat organik yang dihasilkan selama proses
dekomposisi akan dapat membebaskan P yang terfdiksassi pada butir-butir tanah
(Satari, 1987).
Menurut Soegiman
(1982) bahwa bahan organik seperti kompos berperan sebagai granulator
(pembentukan butir) dari butir-butir mineral yang menyebabkan struktur tanah
menjadi gembur. Pelapukan bahan organik
pada tanah akan menghasilkan asam humid yang membantu pembentukan dan
pemantapan struktur tanah yang dikehendaki
Penambahan kompos
kedalam tanah dapat memperbaiki keadaan aerasi, drainase, absorbsi panas,
kemampuan daya serap tanah terhadap air, serta berguna untuk mengendalikan
erosi tanah. Kompos dapat juga
menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh tanaman saat
panen atau terbawa aliran air permukaan (erosi), karena kandungan hara dalam kompos
rata-rata adalah 0,19 % - 0,5 % N, 0,08 % - 0,22 % P dan 0,45 % - 1,20 % K
(Soegiman,1982).
Kompos mempunyai beberapa sifat yang
menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga
menjadi ringan, (2) memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak
berderai, (3) menambah daya ikat air pada tanah, (4) memperbaiki drainase dan
tata udara dalam tanah, (5) mempertinggi daya ikat tanahterhadap zat hara, (6)
mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit, (7) membantu proses
pelapukan bahan mineral, (8) memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba,
(9) menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan (Hakim et al, 1987).
Penelitian Wade dan Sanchez (1983)
mengungkapkan bahwa pemberian pupuk organik, baik berupa pupuk hijau atau mulsa
sangat bermanfaat, apalagi diberikan pada tanah-tanah Ultisol yang secara
terus-menerus ditanami. Kebaikan
penembahan bahan organik tersebut tidak terbatas pada perbaikan sifat-sifat
kimia tanah saja tetapi juga pada sifat-sifat fisika seperti penurunan
temperatur permukaan tanah, meningkatkan daya pegang air tanah, mencegah
terjadinya crusting dan mengurangi gulma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar