Sabtu, 21 Januari 2012

tanah ultisol 2


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ultisol dan Permasalahannya
            Menurut Radjagukguk (1983) tanah-tanah bermasalah di Indonesia antara lain ordo Oxisol, ordo Ultisol, dan Ordo Histosol. Dari 50 juta Ha lahan bermasalah tersebut 38,4 juta ha ditempati oleh Ultisol. Diantaranya 1,023 juta ha lahan tersebut terdapat di Sumatera Barat, atau sekitar 6,1 % dari seluruh tanah Ultisol di Indonesia (LPT, 1979).
            Sifat kimia tanah Ultisol yang mengganggu pertumbuhan tanaman adalah pH yang rendah (masam) yaitu sekitar 4,9, kejenuhan Al yang tinggi yaitu sebesar 42 %, bahan organik yang rendah yaitu sebesar 1,15 %, kandungan hara yang rendah yaitu N sebesar 0,14 % dan P sebesar 5,80 ppm, kejenuhan basa yang rendah sebesar 29 % dan KTK yang juga rendah yaitu sebesar 12,6 me/100 g. Sedangkan sifat fisikanya yang mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman adalah laju infiltrasi, kemantapan agregat, permeabilitas dan kemampuan tanah dalam menahan air yang rendah (Sinukaban, 1982).
Tanah ultisol  pada dasarnya mempunyai struktur yang baik, tapi tidak optimal dalam kemampuan memegang air, sehingga cepat kehilangan air sehingga tanah mengalami dehidrasi.  Namun jika tanah ini dikelola dan diperlakukan secara tepat, maka tanah ini bisa produktif (Soepardi, 1983).  Perlakuan yang bisa kita usahakan terhadap tanah ultisol adalah cara penetralan kadar asam sekaligus meningkatkan kadar haranya.  Salah satu cara untuk meningkatkan kadar hara tanah ini adalah dengan memberi kapur dan pupuk buatan yang cukup. Kadar asam ultisol dinetralkan dengan pemberian kapur. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah. Selanjutnya juga diharapkan meningkatkan kegiatan jasad renik dalam tanah (Hakim et al,1986).
2.2 Titonia (Tithonia diversivolia) Sebagai Sumber Bahan Organik
Penelitian tentang pemanfaatan titonia telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa Fakultas Pertanian, seperti Hayati (2003) untuk tanaman melon, Novalina (2003) untuk tanaman cabai, Zulfa (2004) untuk tanaman tomat, dan Fidorova (2003) untuk tanaman jagung.  Berdasarkan hasil penelitian mereka diketahui bahwa tanaman melon, jagung, cabai dan  tomat yang diberi 50% N dari titonia dan 50% N dari urea tumbuh lebih baik daripada yang diberikan 100% N dari urea.  Hasil penelitian Hakim dan Agustian (2004 dan 2005) pada Ultisol di lapangan menunjukkan bahwa pemanfaatan titonia dapat mengurangi penggunaan NK pupuk buatan hingga 50 % untuk tanaman jahe, cabai, dan jagung. 
Legizasvera (2005) dan Yumna (2006) juga menemukan hasil cabe tertinggi pada penggantian NK pupuk buatan dengan NK titonia sebanyak 25 – 50 %.  Bibowo (2005) melaporkan bahwa penggantian NK pupuk buatan dengan NK titonia terbaik untuk memperoleh hasil jagung tertinggi adalah 50 %.  Hakim dan Agustian (2004 dan 2005) menyimpulkan bahwa kebutuhan NK tanaman cabe, jahe, dan jagung dapat disubstitusi dengan NK pupuk buatan 25 – 50 % karena hasilnya tidak berbeda nyata dengan 100 % NK pupuk buatan, bahkan kadang-kadang lebih tinggi pada tanaman yang mendapat kombinasi NK titonia dan NK pupuk buatan.  Penggunaan titonia ini baru sebatas beberapa tanaman saja.  Untuk mengurangi pengeluaran petani dalam pengadaan pupuk dan peningkatan hasil, penggunaan titonia sebagai bahan organik perlu dikembangkan.

2.3. Padi Gogo dan Syarat Tumbuhnya
            Padi gogo tumbuh sampai ketinggian 1300 m dpl dengan curah hujan rata-rata 600-1200 mm selama fase pertumbuhannya.  Suhu yang dibutuhkan padi gogo untuk tumbuh baik adalah antara 15-300  C.  Tanah yang gembur dan cukup subur, mempunyai drainase baik dibutuhkan oleh padi gogo untuk tumbuh baik (Badan Pengendalian Bimas, 1977).
            Pertumbuhan padi gogo secara langsung akan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.  Berbeda dengan padi sawah, lingkungan tumbuh dan kondisi tanah tidak berubah karena tiadanya genangan air.  Akibatnya terdapat berbagai tekanan atau deraan (strees) karena kekeringan, keracunan, dan kekahatan berbagai unsur hara, selain gangguan dari berbagai hama penyakit dan gulma (Ismunadji et al, 1988).
            Kendala utama dalam budidaya padi gogo antara lain rendahnya produktifitas tanah, gangguan hama penyakit, kekeringan dan kurangnya varietas unggul yang berpotensi hasil dan stabil pada lahan marginal.  Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan perbaikan teknologi kultur teknis serta penemuan varietas unggul (Balittan Sukarami, 1989).  Ismunadji et al (1988) menambahkan bahwa kebanyakan lahan kering memiliki pembatas karena kesuburan rendah, kekahatan berbagai unsur hara, dan juga keracunan yang berkaitan dengan reaksi tanah.  Karena masalah-masalah ini lahan untuk penanaman padi gogo dan juga untuk tanaman pangan lainnya digolongkan marginal.
            Pusat Penelitian Tanah telah membuat klas kesesuaian lahan untuk tanaman pangan lahan kering yang dapat digunakan untuk tanaman padi gogo.  Kriteria suatu lahan potensi untuk tanaman padi gogo adalah: (1) kedalaman efektif lebih dari 25 cm, (2) tekstur liat berdebu halus, berlempung halus sampai kasar, (3) pori air tersedia sedang sampai tinggi, (4) tanah tidak berbatu (batu kurang dari 5 %), (5) reaksi tanah pH 4,2 sampai 8,0, (6) kejenuhan Al kurang dari 80 %, (7) kedalaman padas dasar dari 50 cm, lereng kurang dari 8 %, (9) kelas drainase agak terlambat sampai agak cepat, (10) salinitas kurang dari 4000 mmhos/cm3, (11) ketebalan gambut kurang dari 100 cm.
            Padi menghendaki lingkungan yang terbuka dan banyak mendapat sinar matahari.  Oleh karena itu tidak baik di tanam sebagai tanaman sela.  Temperatur juga merupakan faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan padi.  Temperatur yang tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif akan menaikkan jumlah anakan.  Sebaliknya temperatur rendah pada masa berbunga berpengaruh baik pada pertumbuhan bunga dan hasilnya akan lebih tinggi atau lebih baik.  Tetapi pada masa ini temperatur tinggi dapat menyebabkan gabah hampa, karena tidak adanya keseimbangan antara pernafasan dan fotosintesa (BPLPP dan JICA, 1983).
            Beberapa sifat tanaman padi gogo adalah: (1) peka terhadap kekeringan, (2) jumlah anakan maksimum sedikit dan luas permukaan daun sempit, (3) jumlah anakan produktif sedikit dan persen kehampaan tinggi, (4) fase bunganya lambat dan jumlah bahan keringnya lebih sedikit, dan (5) nilai nisbah bahan kering lebih kecil (Sorowinoto, 1983 cit. Zain, 1995).
2.4. Kompos dan Peranannya
Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja didalamnya.   Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran hewan, rerontokan kembang, air kencing dan kotoran hewan, dan lain-lain.   Adapun kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut di dukung oleh keadaan lingkungan yang basah dan lembab (Murband, 2003).
Kompos yang merupakan sumber  bahan organik penting disamping pupuk kandang dan pupuk hijau, adalah hasil dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan yang menyerupai humus (Indranada, 1986).  Pemberian kompos sebagai bahan organik dapat mengurangi fiksasi P dimana zat-zat organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi akan dapat membebaskan P yang terfdiksassi pada butir-butir tanah (Satari, 1987).
Menurut Soegiman (1982) bahwa bahan organik seperti kompos berperan sebagai granulator (pembentukan butir) dari butir-butir mineral yang menyebabkan struktur tanah menjadi gembur.  Pelapukan bahan organik pada tanah akan menghasilkan asam humid yang membantu pembentukan dan pemantapan struktur tanah yang dikehendaki
Penambahan kompos kedalam tanah dapat memperbaiki keadaan aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air, serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah.  Kompos dapat juga menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh tanaman saat panen atau terbawa aliran air permukaan (erosi), karena kandungan hara dalam kompos rata-rata adalah 0,19 % - 0,5 % N, 0,08 % - 0,22 % P dan 0,45 % - 1,20 % K (Soegiman,1982).
      Kompos mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan, (2) memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai, (3) menambah daya ikat air pada tanah, (4) memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah, (5) mempertinggi daya ikat tanahterhadap zat hara, (6) mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit, (7) membantu proses pelapukan bahan mineral, (8) memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba, (9) menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan (Hakim et al, 1987).
      Penelitian Wade dan Sanchez (1983) mengungkapkan bahwa pemberian pupuk organik, baik berupa pupuk hijau atau mulsa sangat bermanfaat, apalagi diberikan pada tanah-tanah Ultisol yang secara terus-menerus ditanami.  Kebaikan penembahan bahan organik tersebut tidak terbatas pada perbaikan sifat-sifat kimia tanah saja tetapi juga pada sifat-sifat fisika seperti penurunan temperatur permukaan tanah, meningkatkan daya pegang air tanah, mencegah terjadinya crusting dan mengurangi gulma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar