Sabtu, 21 Januari 2012

tanah ultisol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ultisol dan Permasalahannya Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang mempunyai sebaran terluas di Indonesia yaitu mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25 % dari total luas daratan Indonesia. Tanah ini tersebar di Kalimantan (21.938.000 ha), di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung ( Subagyo et al, 2004). Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara (Sri Adiningsih dan Mulyadi,1993). Menurut Hardjowigeno (2003), Ultisol mempunyai sifat kimia yang kurang baik yang dicirikan oleh kemasaman tanah yang tinggi dengan pH < 5, kandungan bahan organik tanah rendah sampai sedang, kandungan hara N, P, K, Ca, Mg dan Mo rendah. Kapasitas tukar kation (KTK) kecil dari 24 me/100 g. Sebaliknya kelarutan Al, Mn, dan Fe sering tinggi, sehingga sering meracun bagi tanaman. Hal itu disebabkan oleh tingkat pelapukan yang sudah lanjut serta curah hujan yang tinggi, sehingga unsur hara tercuci ke lapisan bawah. Di samping itu juga disebabkan oleh bahan induk mineral tanah yang miskin mineral primer yang mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Soepardi (1983) menyatakan bahwa kandungan N Ultisol < 0,2 %, P tersedia < 1 ppm, Ca dan Mg < 3 me/ 100g, dan kandungan bahan organik rendah. Oleh karena itu, untuk mempertahankan bahan organik tanah perlu dilakukan pengembalian sisa-sisa tanaman. Hakim (1982) mengemukakan bahwa pupuk hijau merupakan salah satu sumber bahan organik yang baik untuk penyubur tanah Ultisol. Kemasaman tanah Ultisol selain disebabkan oleh curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan basa-basa mudah tercuci, juga disebabkan oleh hasil dekomposisi mineral aluminium silikat yang membebaskan ion aluminium (Al+3). Ion tersebut dapat dijerap kuat oleh koloid tanah dan bila dihidrolisis akan menyumbangkan ion H+, akibatnya tanah menjadi masam ( Nyakpa, Lubis, Pulung, Amrah, Munawar, Hong, Hakim, 1988). Proses hidrolisis Al+3 dapat dilukiskan sebagai berikut : Al+3 + H2O | Al (OH) | 2+ + H+ Perlakuan yang tepat untuk mengurangi kemasaman Ultisol sekaligus meningkatkan kadar haranya adalah dengan memberi kapur dan pupuk buatan yang cukup. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Hal tersebut diharapkan juga dapat meningkatkan kegiatan jasad renik dalam tanah (Hakim, Nyakpa, Lubis, Nugroho, Saul, Diha, Hong, Bailey, 1986). Hakim (2006) menegaskan bahwa kapur merupakan pengendali kemasaman tanah yang paling tepat karena reaksinya sangat cepat dan menunjukkan perubahan kemasaman tanah yang sangat nyata. Pemberian kapur setara 1 x Al dd sudah dapat menaikkan pH sehingga 5,3 – 5,4 dan menurunkan kejenuhan Al sampai < 30 %. Pemberian kapur setara 2 x Al dd dapat menaikkan pH sampai 5,9 – 6,0 dan kejenuhan Al turun hingga 3 – 5 %. Kondisi tersebut cocok untuk semua jenis tanaman pangan. Berkaitan dengan kemasaman tanah pada Ultisol yang disebabkan oleh kelarutan Al, kelarutan besi (Fe) dan mangan (Mn) juga cukup tinggi. Keberadaan kation Al, Fe dan Mn pada tanah masam menyebabkan unsur fosfor (P) kurang tersedia bagi tanaman. Akibatnya tanaman sering menunjukkan kekurangan unsur P pada tanah tersebut. Di samping itu, unsur molibdenum (Mo) kelarutannya sangat rendah pada tanah masam. Unsur ini dibutuhkan tanaman legum dalam pembentukan bintil akar untuk menambat nitrogen (N). Akibatnya, penambatan N menjadi terhambat pada tanah bereaksi masam (Nyakpa et al, 1988). Ultisol miskin hara terutama unsur N, P dan K. Oleh karena itu, Ultisol memerlukan pupuk yang banyak. Dengan pengapuran dan pemupukan yang banyak, Ultisol dapat lebih produktif. Akan tetapi harga pupuk semakin mahal. Oleh karena itu pemakaian pupuk harus dihemat tanpa menurunkan produksi (Hakim, 2006). 2.2 Peranan Unsur N dan K serta Masalahnya Unsur N merupakan unsur yang paling banyak mendapat perhatian dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. Unsur ini dijumpai dalam jumlah yang lebih besar dalam bagian yang muda daripada jaringan tua tanaman, terutama terakumulasi dalam daun dan biji. Nitrogen merupakan penyusun protein setiap sel hidup, karenanya terdapat pada seluruh bagian tanaman. Unsur ini juga merupakan bagian dari penyusun enzim dan molekul klorofil (Hakim et al, 1986; Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Parnata (2004) menyatakan bahwa tumbuhan memerlukan N untuk pertumbuhan, terutama pada fase vegetatif yaitu pertumbuhan cabang, daun, dan batang . Kekurangan N dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak normal atau kerdil, jaringan tanaman mengering dan mati, pertumbuhan buah tidak sempurna yaitu cepat masak dan kadar proteinnya kecil. Sedangkan gejala kelebihan N menurut Rinsema (1983), dan Hardjowigeno (2003) adalah batang lemah dan mudah roboh, kematangan tanaman terlambat karena terlalu banyak pertumbuhan vegetatif, serta ketahanan terhadap penyakit berkurang. Hakim et al (1988) mengemukakan bahwa N merupakan salah satu unsur hara yang sangat penting dan dapat disediakan melalui pemupukan. Nitrogen terdapat di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk-bentuk anorganik meliputi NH4+, NO3-, NO2-, N2O, NO, dan unsur N. Disamping itu, juga terdapat bentuk lain yaitu hidroksil amin (NH2OH), tetapi bentuk ini merupakan bentuk antara, yaitu bentuk peralihan dari NH4+ menjadi NO2- dan bentuk ini tidak stabil . Sutejo (2002) menambahkan bahwa N diserap akar tanaman dalam bentuk NO3- (nitrat) dan NH4+ (ammonium). Dalam tanaman, nitrat segera tereduksi menjadi ammonium dengan bantuan enzim reduktase nitrat yang mengandung Mo. Hardjowigeno (2003) mengemukakan bahwa ion nitrit tidak bisa digunakan tanaman, dan bersifat toksik dalam jumlah banyak. Ketersediaan N di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh penambahan dan kehilangan N itu sendiri di dalam tanah. Ada beberapa cara penambahan N ke dalam tanah, yaitu melalui dekomposisi bahan organik, pengikatan N2 dari udara oleh mikroorganisme, pemberiaan pupuk N seperti Urea, dan melalui air hujan ( Hakim et al, 1986 dan Soegiman, 1982). Nitrogen di dalam tanah dapat juga hilang melalui proses denitrifikasi, terbawa panen, tercuci bersama air drainse dan terfiksasi oleh mineral liat. Kehilangan N bersama panen adalah yang terbesar, terlebih jika sisa panen tidak dikembalikan ke dalam tanah (Ahmad, 1980). Unsur N sering ditambahkan dalam bentuk pupuk baik anorganik ataupun organik ke dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman. Hal ini bukan hanya disebabkan karena kurangnya N dalam jumlah yang cukup dari tanah, tetapi juga karena pupuk yang ditambahkan sering tidak dimanfaatkan semuanya oleh tanaman. Rendahnya efisiensi pemanfaatan pupuk N sangat terasa didaerah tropis dengan suhu dan curah hujan yang tinggi. Hujan akan membawa sebagian unsur N seperti nitrat tercuci ke lapisan sub soil, sementara dengan suhu tinggi nitrat bisa mengalami denitrifikasi menjadi gas N2, dan terbang ke udara, bila saat pemberian dan bentuk senyawa N yang ditambahkan tidak cocok (Yulnafatmawita, Gusnidar dan Hakim, 2006). Selama ini, efisiensi pemanfaatan pupuk (EPP) N oleh tanaman pertanian, terutama semusim cukup rendah. Akan tetapi, perhitungan ini juga belum akurat, karena masih menggunakan metoda konvensional. Metoda perhitungan EPP tanaman seperti EPP N dengan menggunakan teknik nuklir akibat tidak akuratnya metoda konvensional yang digunakan. Dengan pemakaian isotop unsur tanaman, maka jumlah unsur yang diserap dari pupuk bisa dibedakan dari yang diserap tanaman dan dari tanah. Unsur 15N termasuk kategori isotop stabil, tidak mempunyai aktivitas dan tidak memancarkan sinar radiasi (Yulnafatmawita et al,2006). Dalam bidang pertanian, pemakaian 15N merupakan teknik perunut yang digunakan untuk mempelajari hubungan tanah dan tanaman, baik dengan metoda langsung maupun tidak langsung. Metode langsung dimaksudkan bahwa isotop digunakan untuk melabel bahan yang mengandung hara tanaman yang ingin dipelajari, misalnya pupuk urea, bahan tanaman dan sebagainya dilabel dengan 15N. Metode tidak langsung artinya bahan yang ingin dipelajari tidak dilabel dan pada metode ini diperlukan adanya referensi. Isotop stabil ( misal 15N ) maupun isotop radioaktif (misalkan P-32, Zn-65, Rb-86, C-14 dan S-35) digunakan sebagai tracer untuk mempelajari kelakuan hara tanaman dalam tanah. Beberapa kegiatan penelitian menggunakan teknik nuklir yang dapat dilakukan antara lain 1) untuk menentukan kondisi optimal bagi penggunaan pupuk (pola perakaran aktif tanaman , jenis dan takaran pupuk ); 2) untuk menentukan fiksasi N 2 udara bagi tanaman legum; 3) untuk mempelajari proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik; dan 4) untuk mempelajari proses fotosintesis tanaman ( Yudhi. 2008 ). Di samping N, unsur K juga termasuk hara yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Kalium adalah unsur hara ketiga setelah nitrogen dan fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Unsur K diserap tanaman dalam jumlah mendekati atau bahkan kadang – kadang melebihi jumlah nitrogen (Nyakpa et al, 1988). Unsur K bukan merupakan unsur penyusun senyawa organik tanaman, tapi lebih banyak berperan sebagai aktifator. Unsur K berfungsi dalam pembentukan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan stomata, proses fisiologis tanaman dan proses metabolisme dalam sel (Hardjowigeno, 1987). Kalium merupakan unsur mobil dalam tanaman, dan segera ditranslokasikan ke jaringan meristematik yang muda bilamana jumlahnya terbatas bagi tanaman. Dengan demikian gejala kekurangan K biasanya tampak pertama kali pada daun-daun bagian bawah (Nyakpa et al, 1988). Gejala kekurangan K terutama terlihat pada daun-daun tua, karena daun-daun muda yang masih aktif mengambil K dari daun tua tersebut (Hardjowigeno, 2003). Hal itu sering dijumpai pada Ultisol karena kandungan K Ultisol hanya 0,1 – 0,3 me/ 100 g tanah. Tanaman sangat respon terhadap pemupukkan K pada Ultisol (Hakim et al, 1986). 2.3 Titonia sebagai Sumber Bahan Organik dan Unsur Hara Titonia adalah tumbuhan semak famili Asteraceae yang diduga berasal dari Meksiko. Titonia merupakan tumbuhan semak (gulma) yang agak besar, bercabang sangat banyak, berbatang lembut dan agak kecil, tumbuh sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat dapat membentuk semak yang lebat (Jama et al, 2000). Hakim (2001) menyatakan bahwa titonia memenuhi syarat sebagai pupuk hijau. Menurut Soegiman (1982) tanaman dapat dijadikan pupuk hijau apabila memenuhi beberapa persyaratan, yaitu : (1) pertumbuhan cepat; (2)bagian di atas tanaman lebat; (3) mampu tumbuh dengan baik pada tanah miskin unsur hara. Hakim et al ( 1986) menambahkan syarat pupuk hijau yaitu : (1) menghasilkan banyak bahan organik; (2) tidak banyak mengandung kayu; (3) mudah busuk; dan (4) banyak mengandung N. Hakim dan Agustian (2004) menyatakan bahwa titonia dapat dijadikan pupuk hijau karena memenuhi persyaratan tanaman pupuk hijau tersebut. Hakim (2001) melaporkan bahwa titonia mudah tumbuh disembarang tempat dan berbagai jenis tanah. Di Sumatera Barat, titonia dapat tumbuh mulai dari ketinggian 2 m hingga 1000 m dari permukaan laut. Jama et al (2000) melaporkan bahwa daun hijau titonia mengandung unsur hara yang tinggi, yaitu 3,5-4% N; 35-0,38% P; 3,5-4,1% K; 0,59% Ca dan 0,27% Mg. Hakim dan Agustian (2003) menyatakan bahwa rata-rata kandungan hara titonia yang terdapat di Sumatera Barat juga cukup tinggi, yaitu 3,16% N; 0,38 % P; dan 3,45% K. Oleh karena itu, tanaman ini dapat dijadikan sebagai sumber hara, terutama N dan K bagi tanaman. Penelitian tentang pemanfaatan titonia telah dilakukan oleh beberapa orang mahasiswa Fakultas Pertanian, seperti Hayati (2003) untuk tanaman melon, Novalina (2003) untuk tanaman cabai, Zulfa (2004) untuk tanaman tomat, dan Fidorova (2003) untuk tanaman jagung. Berdasarkan hasil penelitian mereka diketahui bahwa tanaman melon, jagung, cabai dan tomat yang diberi 50% N dari titonia dan 50% N dari urea tumbuh lebih baik daripada yang diberikan 100% N dari urea. Hakim dan Agustian (2003) melaporkan bahwa peningkatan titonia segar dari 400 g sampai 600 g/pot dapat memperbaiki sifat kimia tanah, dan kebutuhan tanaman jahe terhadap N dan K pupuk buatan dapat disubstitusikan oleh N dan K titonia 25%-50%. Peningkatan takaran tersebut cenderung menurunkan pH tanah karena proses dekomposisi masih berlangsung, tetapi meningkatkan kandungan N total sebesar 0,03%, K-dd sebesar 0,59 me/100 g dan Mg-dd dan Na-dd tanah. Sedangkan untuk tanaman Cabai peningkatan takaran titonia segar dari 300-1200 g/pot juga menurunkan pH tanah, tetapi meningkatkan kadar N total tanah yakni 0,1%, meningkatkan K-dd sebesar 0,78 me/ 100 g dan meningkatkan kadar Mg-dd dan Na-dd tanah Hasil penelitian Hakim dan Agustian (2004 dan 2005) pada Ultisol di lapangan, menunjukkan bahwa pemanfaatan titonia dapat mengurangi penggunaan NK pupuk buatan hingga 50% untuk tanaman jahe, cabai, dan jagung. Pemanfaatan titonia untuk tanaman cabai dan jahe di lapangan dengan takaran 12 dan 24 ton/ha yang dipersiapkan untuk mensubtitusi NK pupuk buatan 25 % dan 50 % tidak begitu konsisten dalam mempengaruhi pH tanah, ada yang meningkatkan dan ada yang menurunkan pH tanah. Namun peningkatan takaran tersebut mempengaruhi kandungan N total tanah, K-dd, Mg-dd dan Na-dd tanah. Kombinasi sumbangan NK 50% dari titonia dan 50% dari pupuk buatan ini dapat memberikan hasil cabai dan jahe yang lebih tinggi yaitu 9,36 ton cabai/ha dan 11 ton jahe segar/ha. Bibowo (2005) juga melaporkan bahwa penggantian NK pupuk buatan dengan NK titonia terbaik untuk memperoleh hasil jagung tertinggi ( 3,84 ton/ha) adalah 50 %. Hakim dan Agustian (2004 dan 2005) menyimpulkan bahwa kebutuhan NK tanaman cabe, jahe, dan jagung dapat disubstitusi dengan NK pupuk buatan 25-50% karena hasilnya tidak berbeda nyata dengan 100% NK pupuk buatan, bahkan kadang-kadang lebih tinggi pada tanaman yang mendapat kombinasi NK titonia dan NK pupuk buatan. Penggunaan titonia ini baru sebatas beberapa tanaman saja. Untuk mengurangi pengeluaran petani dalam pengadaan pupuk dan peningkatan hasil, Hakim dan Agustian (2005) melaporkan bahwa titonia digunakan dalam bentuk segar yang dibenamkan 4 minggu sebelum tanam. Mengingat masa pangkas titonia setiap 2 bulan maka mereka menyarankan agar titonia dikomposkan terlebih dahulu. Penggunaan titonia sebagai bahan organik perlu dikembangkan, misalnya untuk kedelai. 2.4 Peranan Agen Hayati dalam Pembuatan Kompos Kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik lainnya (Indriani, 2001). Sedangkan menurut Murbandono (2003) kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) seperti dedaunan, rumput, jerami, sisa ranting dan dahan, kotoran hewan dan lain-lain yang telah mengalami proses pelapukkan karena adanya interaksi antar mikroorganisme pembusuk dengan bahan organik tersebut. Kompos mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan antara lain memperbaiki struktur tanah, memperbesar daya ikat tanah berpasir, menambah daya ikat air pada tanah, memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah, mempertinggi daya ikat tanah terhadap unsur hara, mengandung hara yang lengkap, membantu proses pelapukan bahan mineral, dan menyediakan bahan makanan bagi mikroba (Indriani, 2001). Soegiman (1982) juga menyatakan bahwa penambahan kompos ke dalam tanah dapat memperbaiki keadaan aerasi, drainase, absorbs panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air, serta berguna untuk mengendalikan erosi tanah. Kompos dapat juga menggantikan unsur hara yang hilang akibat terbawa oleh tanaman saat panen atau terbawa aliran air permukaan dan erosi, karena kandungan hara dalam kompos rata-rata adalah 0,19% - 0,5% N; 0,22% - 0,8% P; dan 0,45% - 1,2% K. Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Dengan semakin tingginya C/N bahan kompos maka proses pengomposan akan semakin lama karena C/N harus diturunkan. Waktu yang diperlukan untuk menurunkan C/N tersebut bermacam-macam dari 3 bulan hingga tahunan. Hal ini terlihat dari proses pembuatan humus di alam, dari bahan organik untuk menjadi humus diperlukan waktu bertahun-tahun (Indriani, 2001). Indriani (2001) menyatakan bahwa dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti: 1) karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air, 2) zat putih telur menjadi ammonia, CO2, dan air, 3) peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar C akan turun dan senyawa N yang larut (ammonia) meningkat. Dengan demikian, C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah. Kompos telah digunakan secara luas dan telah terbukti mampu menangani limbah pertanian, sekaligus berfungsi sebagai pupuk alami. Masyarakat Cina, Jepang, dan masyarakat Asia lainnya telah membuat kompos sejak 400 tahun yang lalu. Mereka mencoba mengembalikan sampah-sampah yang dihasilkan dari aktifitasnya ke dalam tanah kembali dengan cara menimbunnya menjadi kompos. Selain lingkungan menjadi bersih, sampah yang sudah menjadi kompos ini mampu memperbaiki lahan petanian (Djuarnani, Kristian, dan Budi Susilo, 2005). Pembuatan kompos dengan cara tradisional membutuhkan waktu berbulan-bulan. Namun, dengan kemajuan teknologi, proses pengomposan ini bisa dipercepat dengan cara menambahkan bahan lain yang disebut aktivator atau agen hayati. Aktivator merupakan bahan yang terdiri dari enzim, bahan humat, dan mikroorganisme yang dapat mempercepat proses pengomposan. Beberapa aktivator yang beredar di Pasaran diantaranya Orgadec (Organik decomposer), EM4 (Effective microorganism 4), dan Stardec (Simamora dan Salundik, 2006). Orgadec merupakan aktivator yang ditemukan oleh para peneliti dari unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor yang dipimpin oleh Didiek Hadjar Goenadi. Aktivator ini diperoleh dengan cara mengisolasi bahan-bahan yang telah lapuk secara alami. Aktivator dalam orgadec berupa mikroba yang mempunyai kemampuan untuk menghancurkan bahan organik dalam waktu yang singkat dan bersifat antagonis terhadap penyakit akar. Diantara mikroorganisme yang terdapat dalam orgadec adalah Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. Kedua mikroba ini mengeluarkan enzim penghancur lignin dan selulosa secara bersamaan. Dengan hancurnya lignin dan selulosa, kadar karbon akan turun dan kadar nitrogen meningkat sehingga C/N menjadi kecil. Kedua mikroba ini dapat bekerja pada temperatur tinggi (termofilik), lebih kurang 80oC (Indriani, 2001). Proses pengomposan dengan orgadec terjadi secara aerob, sehingga produk dikemas dalam bentuk serbuk. Dalam bentuk ini, produk lebih stabil dan dapat tahan hingga 12 bulan dalam penyimpanan yang baik. Kecepatan orgadec menghancurkan bahan organik tergantung pada volume bahan dan kondisi pengomposan, umumnya berlangsung selama 14-21 hari. Untuk bahan organik keras (tanaman yang sudah tua) dosis orgadec yang digunakan 12,5 kg Orgadec/ton bahan, sedangkan untuk bahan organik lunak (tanaman yang masih muda) digunakan 5 kg Orgadec/ton bahan (Simamora dan Salundik, 2006). Keunggulan dari orgadec diantaranya adalah: 1) mutu kompos seragam, 2) kompos dalam keadaan matang, 3) mengandung inokulum mikroba antagonis bagi penyakit jamur akar, 4) mengandung unsur hara makro, 5) mengandung zat pengatur tumbuh berupa bahan humik (Indriani, 2001). Selain aktivator orgadec, ada juga aktivator stardec. Stardec juga mempunyai mikroba yang berperan dalam penguraian atau dekomposisi limbah organik hingga dapat menjadi kompos, diantaranya mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, aminolitik, dan fiksasi nitrogen non-simbiotik. Mikroba di dalam stardec diperoleh dari isolasi tanah lembab di hutan, akar rumput-rumputan, dan kolon sapi (Indriani, 2001). Syarat utama agar proses dekomposisi dengan bantuan stardec berjalan baik adalah jika berlangsung ditempat yang tidak terkena cahaya matahari maupun hujan secara langsung. Idealnya tempat tersebut dibuat semacam bangunan rumah. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos ini sekitar 5 minggu. Keunggulan kompos dengan aktivator stardec adalah ; 1) bebas dari biji-biji liar (gulma), 2) bebas dari bakteri patogenik, 3) tidak berbau, 4) tidak membakar tanaman, 5) mudah digunakan, dan 6) dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman (Indriani, 2001). Larutan EM4 ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang. Larutan ini berisi mikroorganisme fermentasi. Jumlah mikroorganisme fermentasi di dalam EM4 sangat banyak, sekitar 80 genus. Mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasi bahan organik. Ada lima golongan utama, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomyces sp, ragi (yeast), dan Actinomycetes. Actnomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri dan jamur yang mengambil asam amino dan zat serupa yang diproduksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik untuk mengendalikan patogen, menekan jamur dan bakteri berbahaya dengan cara menghancurkan khitin yaitu zat esensial untuk pertumbuhannya. Actinomycetes juga dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain (Indriani, 2001). Proses pengomposan dengan bantuan EM4 berlangsung secara anaerob (sebenarnya semi anaerob karena masih ada sedikit udara dan cahaya) (Indriani, 2001). Simamora dan Salundik (2006) menambahkan bahwa proses pengomposan anaerob berjalan tanpa adanya oksigen. Bisaanya, prosesnya dilakukan dalam wadah tertutup sehingga tidak ada udara yang masuk (hampa udara). Proses pengomposan ini melibatkan mikroorganisme anaerob untuk membantu mendekomposisi bahan yang dikomposkan. Bahan baku yang dikomposkan secara anaerob biasanya berupa bahan organik yang berkadar air tinggi. Selain mempercepat proses fermentasi dan dekomposisi bahan organik, EM4 juga bermanfaat untuk 1) memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah; 2) menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dan ; 3) menyehatkan tanaman, meningkatkan produksi tanaman, dan menjaga kestabilan produksi (Indriani, 2001). Kompos yang dihasilkan melalui fermentasi dengan pemberian EM4 dinamakan Bokasi, dalam bahasa Jepang berart bahan organik yang terfermentasi. Sebagai tahap awal sebelum proses fermentasi diperlukan molase (tetes tebu), Molase ini dapat digantikan dengan gula putih atau gula merah (Indriani, 2001). Dosis EM4 untuk 1 ton campuran bahan kompos adalah 1 liter, dan untuk 1 liter molase dibutuhkan 0,5 kg gula pasir atau gula merah (Simamora dan Salundik, 2006). 2.5. Rotasi Tanaman dengan Kedelai Rotasi tanaman merupakan penanaman beberapa jenis tanaman pada lahan yang sama tetapi pada waktu yang berbeda atau secara bergiliran. Keuntungan melakukan rotasi tanaman adalah 1). meningkatkan keanekaragaman bahan pangan dan gizi; 2) memutus daur hidup hama dan penyakit tanaman; 3) mengurangi aplikasi pupuk Nitrogen jika ada tanaman leguminosa (Soedradjad, 2008). Sedangkan menurut AAK (1991) rotasi tanaman merupakan pergiliran tanaman, agar penanaman dapat memanfaatkan waktu dengan tepat dan efisien. Tanaman yang mungkin dirotasikan adalah jagung dan kedelai. Keuntungan kedelai dirotasikan dengan jagung adalah karena kedelai dapat memfiksasi N dari udara. Kedelai merupakan tanaman yang sangat efisien dalam memanfaatkan residu pupuk yang diberikan pada tanaman sebelumnya. Dilain pihak, serasah kedelai berupa daun yang gugur dan akar, dalam periode pertumbuhan kedelai dapat menghasilkan N organik ke dalam tanah sebanyak 50 – 70 kg/ha. Ini berarti akan menguntungkan untuk tanaman berikutnya. Di samping itu kondisi fisik tanah semakin baik setelah penanaman kedelai, karena kanopi tanamnnya dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap erosi dan, sinar matahari, sehingga memudahkan dalam pengerjaan tanah berikutnya ( Somaatmadja, 1985). Kedelai merupakan tanaman multiguna karena bisaa digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku berbagai industri manufaktur dan olahan. Adanya upaya penghematan devisa oleh Negara menyebabkan kedelai menjadi komoditas yang penting. Nilai impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sangat besar, mencapai jutaan ton setiap tahunnya (Adisarwanto, 2005, cit Elvira, 2007). Sebanyak 92.000 unit industri menggunakan bahan baku kedelai di Indonesia. Sebanyak 39 persen di antaranya berada di Jateng, di Jatim 22 %, Jabar 13 %, Yogyakarta 8,5 %, sisanya berada di Kalimantan, dan Sumatra. Produsen tempe sekitar 56 ribu unit, tahu 28 ribu unit, kecap 1.500 unit, dan tauco 2.100 unit ( Antara news.com). Hidayat (1985) mengemukakan bahwa kedelai merupakan tanaman kekacangan semusim yang tumbuh tegak, berdaun lebat dengan morfologi beragam. Secara taxonomi, kedelai diklasifikasikan kedalam famili Leguminoseae, Ordo Polypetales, dan spesies Glycine max (L) Merill. Nama Botani kedelai yang dibudidayakan adalah Glycine max (L)Merill . Kedelai memiliki akar tunggang yang mempunyai bintil akar yang merupakan koloni bakteri Rhizobium japonicum yang terbentuk sekitar 15-20 hari setelah tanam. Bakteri ini dapat menambat N bebas dari udara, yang kemudian dapat digunakan oleh tanaman inang (simbiosa). Simbiosa bakteri Rhizobium dengan tanaman kedelai yang baik dapat meningkatkan berat kering bintil akar, jumlah polong bernas per tanaman, dan berat 100 biji. Peningkatan unsur N dari udara dapat menyumbangkan unsur N bagi kehidupan tanaman kedelai (Soeprapto, 1996). AAK (1991) menyatakan bahwa kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah asal drainase dan aerasi tanah cukup baik. Tanah-tanah yang cocok yaitu Alluvial, Regosol, Grumosol, Latosol, dan Andosol. Akan tetapi pada tanah Podzolik Merah Kuning dan tanah yang banyak mengandung pasir kuarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali bila diberi tambahan pupuk organik atau kompos dengan jumlah yang cukup. Pemberian pupuk dapat menaikkan hasil panen kedelai, terutama pada tanah-tanah yang kekurangan unsur hara. Pada umumnya pemberian pupuk majemuk (NPK) secara langsung tidak banyak berpengaruh terhadap kenaikkan produksi kedelai. Demikian pula pemberian pupuk N tidak begitu memberi hasil, sebab kedelai hidup bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium yang dapat merambat unsur N dari udara. Unsur N yang telah diikat oleh bakteri ini kemudian dimanfaatkan oleh tanaman kedelai. Akan tetapi, pemupukkan sangat diperlukan pada tanah-tanah yang miskin seperti Ultisol, dengan rekomendasi sebanyak 45–100 kg Urea/ha, serta 100-200 kg/ha untuk TSP dan KCl (AAK, 1991).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar